Fenomena terjadinya penolakan menjadi “Batak” oleh suku Pakpak, Karo, Simalungun dan Mandailing sebenarnya bukan cerita baru. Bahkan pada 1922 Mandailing telah menang perkara di pengadilan dan tidak mau disebut Batak.
Istilah “Batak” awalnya digunakan oleh kolonial Belanda untuk mengidentifikasi kelompok etnis di Sumatera Utara yang belum terpengaruh Islam dan memiliki budaya yang berbeda dari Melayu. Istilah ini mencakup beberapa suku, seperti:
1. Suku Toba
2. Suku Karo
3. Suku Simalungun
4. Suku Mandailing
5. Suku Pakpak
6. Suku Angkola
Istilah “Batak” juga dapat kita telaah dari aspek sejarah, politik, ekonomi, budaya, adat istiadat, bahasa, dan juga tanah ulayat. Awalnya, istilah “Batak” digunakan oleh masyarakat Melayu untuk merujuk pada penduduk pedalaman Sumatera. Kolonial Belanda kemudian menggunakan istilah ini untuk membedakan kelompok etnis tersebut dari Melayu. Seiring waktu, istilah “Batak” disematkan menjadi identitas bersama bagi suku-suku tersebut oleh pemerintah kolonial maupun pemerintah Indonesia.
Dampak istilah “Batak” terlihat dominan menguntungkan terhadap suku Toba, bahkan saat ini Suku Toba telah melebur menjadi Batak dan tidak lagi memakai Suku Toba sebagai identitas dan jatidirinya tetapi justru menstranformasikan diri menjadi Batak. Tetapi untuk suku-suku yang lain istilah “Batak” menyebabkan marginalisasi di Sumatera Utara, seperti:
1. Suku Karo: Merasa kurang diakui dan terpinggirkan.
2. Suku Simalungun: Mengalami kurangnya pengakuan budaya dan tradisi.
3. Suku Mandailing: Menghadapi kesulitan mempertahankan identitas.
4. Suku Pakpak: Mengalami tekanan dan harus meleburkan identitas.
5. Suku Angkola: Menghadapi marginalisasi dalam pengakuan budaya.
Istilah “Batak” seringkali diasosiasikan dengan Suku Toba, sehingga suku-suku lain seperti Karo, Simalungun, Mandailing, Pakpak dan Angkola merasa kurang diakui dan dihargai.
Dampak dari istilah “Batak” kepada suku Toba secara spesifik memang luar biasa pada kuantifikasi dan jumlah sebagai komoditi politik dan kekuasaan sebagai daya tawar kepada pemerintah maupun terhadap alokasi APBN/APBD.
Lihatlah pembangunan yang begitu besar di seputaran Danau Toba, tetapi justru Suku Toba melepas identitas budaya dan jatidirinya menjadi Batak, padahal danau itu dinamai sebagai Danau Toba karena orang Tobalah yang menjadi penduduk di sana.
Sedangkan dampak marginalisasi terhadap Suku Karo, Pakpak, Simalungun, Angkola dan Mandailing karena disatukan dengan Batak adalah:
1. Kehilangan identitas budaya.
2. Kurangnya pengakuan dan penghargaan tehadap tradisi dan kearifan lokal.
3. Terpinggirkan dalam pembangunan ekonomi dan politik.
4. Pelestarian bahasa dan tradisi terancam.
5. Konflik internal dan eksternal.
Dari aspek sejarah, strereotif dan eksklusivitas yang dialami oleh masyarakat Toba terhadap kelompok lain dapat dikaitkan dengan beberapa faktor Pengaruh kolonial Belanda dan zending RMG (Rheinische Missionsgesellschaft) yang memperkenalkan agama Kristen dan membangun sekolah-sekolah di Toba dan Peran zending dalam membentuk identitas Batak dan memperkuat agama Kristen.
Faktor Sosial-Budaya Tradisi dan adat istiadat Toba yang sudah melebur jadi Batak menjadi lebih kuat dan eksklusif karena adany Konsep tarombo “marga” dan “klan” yang memperkuat identitas kelompok Batak, serta diperkuat lagi oleh penciptaan leluhur tunggal yang disebut Siraja Batak yang menjadi leluhur semua orang bermarga di Sumatera Utara.
Hal ini tentu juga berkat peran gereja HKBP dan agama dalam kehidupan sehari-hari, sehingga Kebanggaan dan kesadaran akan identitas Batak melahirkan Rasa superioritas dan eksklusivitas pada orang Toba dan Kurang pemahaman dan interaksi dengan kelompok lain.
Faktor Kontempor seperti Globalisasi dan perubahan sosial yang cepat, Konflik dan ketegangan antar-kelompok serta Pengaruh media sosial dan informasi yang tidak tepat telah lebih mempertegas stereotip dan eksklusivitas ini.
Untuk itu perlu kiranya memahami Kontoversi kata “Batak” dari berbagai aspek dan alasan:
1. Sejarah dan Politik Penggunaan istilah “Batak” oleh kolonial Belanda untuk mengidentifikasi kelompok etnis di Sumatera Utara. Peran zending RMG (Rheinische Missionsgesellschaft) dalam membentuk identitas Batak dan memperkenalkan agama Kristen dan Politisasi identitas Batak oleh pemerintah kolonial dan pemerintah Indonesia.
2. Identitas dan Eksklusivitas
Penggunaan istilah “Batak” yang cenderung eksklusif untuk suku Toba. Perasaan superioritas dan kesadaran akan identitas Batak pada orang Toba, tetapi kurang adanya pengakuan dan penghargaan terhadap keberagaman suku lain, sehingga kalau bukan batak dan Kristen maka dianggap sebagai dalle.
3. Sosial dan Budaya
Perbedaan budaya dan tradisi antara suku-suku di Sumatera Utara seperti tidak diindahkan dan menganggap semuanya sama, sehingga terjadi konflik dan ketegangan antar-suku yang banyak dipengaruhi oleh globalisasi dan perubahan sosial.
3. Faktor Lain: Kurangnya pemahaman dan komunikasi antar-suku yang kemudian ditumpahkan di media sosial sebagai saluran yang tersedia karena kebijakan pemerintah yang kurang mendukung keberagaman budaya.
4. Dampak Kontroversi pada istilah “Batak” karena terjadinya
Marginalisasi suku-suku lain dan terjadiny Konflik dan ketegangan antar-suku karena Kehilangan keberagaman budaya, yang pada akhirnya berpengaruh negatif terhadap kesatuan dan kebangsaan Indonesia.
Untuk mengatasi kontroversi ini, perlu dilakukan:
1. Dialog terbuka dan pemahaman antar-suku.
2. Pendidikan budaya dan toleransi.
3. Promosi keberagaman dan inklusivitas.
4. Menghargai perbedaan dan kesamaan.
5. Kebijakan pemerintah yang mendukung keberagaman budaya.
Kepada para pemangku kepentingan diharapkan agar kedepan dapat memakai istilah yang lebih memgakomodir semua kepentingan suku-suku di Sumatera Utara.
Istilah Spesifik untuk menyebut Suku Toba, Suku Karo, Suku Simalungun, Suku Mandailing, Suku Pakpak, Suku Angkola adalah upaya yang terbaik yang dilakukan dan disosialisasikan agar tidak terjadi konflik etnisitas.
Adapun istilah umum dapat digunakan Masyarakat Sumatera Utara, Suku-suku di Sumatera Utara, Kelompok etnis Sumatera Utara agar kemudian terjadi kesataraan dalam penyebutan dan perlakuan negara, dan menyertakan Nias dan Melayu sebagai suku asli di Sumatera Utara.
Sumber:
1. “Sejarah Suku Batak” oleh Perhimpunan Antropologi Indonesia.
2. “Kebudayaan dan Identitas Batak” oleh Dr. Tengku Luckman Sinar.
3. “Sumatera Utara: Sejarah dan Budaya” oleh Universitas Sumatera Utara.